Mengkritik Atasan, Haruskah Takut

Posted: December 2, 2007 in Haruskah Takut, Mengkritik Atasan
Mengkritik Atasan, Haruskah Takut?

“SAYA tak punya hak untuk melakukan hal itu. Saya bisa dipecat!”
Kalimat itu diucapkan dengan nada tinggi oleh Herman, Asisten Manager TI sebuah perusahaan operator seluler, menjelaskan betapa di tempatnya bekerja, tidak ada kemungkinan untuk melontarkan kritik kepada atasan.
Saat itu Herman sedang berbincang dengan rekannya, Herdin, seorang wartawan sebuah surat kabar harian nasional, di sebuah kafe di Jakarta.
Kepada Herdin, meluncurlah curahan hati Herman, yang bercerita bahwa manajernya adalah seorang atasan yang sama sekali tidak mau menerima kritik bawahannya.
“Bahkan, dulu ada seorang teknisi kami yang berani mengkritik manajerku. Hasilnya, bukannya mau menerima kritik, sang teknisi malah dimarahi habis-habisan,” keluh Herman.
Herman melanjutkan cerita, sang manajer tidak bisa melupakan peristiwa itu, dan menganggap si teknisi sudah kurang ajar. “Setiap hari si teknisi itu ditekan oleh manajerku, dicari-cari kesalahannya. Akhirnya si teknisi tidak tahan dan memutuskan untuk mengundurkan diri.”
Berbeda dengan Herman, Herdin bercerita bahwa di tempatnya bekerja, budaya kritik sudah menjadi kebiasaan. “Untuk kepentingan sebuah berita yang bermutu, imbang, dan dapat dipertanggungjawabkan, tukar pendapat, perdebatan, dan kritik membangun bukan sesuatu yang diharamkan. Bahkan dari bawahan terhadap atasan sekalipun.”
Kritik, memang sebuah kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan. Sebab tidak semua orang mau dikritik. Apalagi jika yang melontarkan kritik itu secara struktur organisasi berada di level yang lebih bawah.
Biasanya, orang akan segera bersikaf defensif dalam menerima kritik, dan beranggapan bahwa si pemberi kritik mengada-ada dan tidak menyukainya.
Memang, kritik seperti pisau bermata dua. Kritik ada yang berupa sebuah saran yang membangun meski disampaikan secara keras, ada juga yang berasal dari kedengkian, sehingga kedengaran ‘nyinyir’.
Tetapi idealnya, demi kemajuan, seseorang harus lapang dada sehingga mampu menerima kritik, demi memperbaiki diri dan kinerjanya. Karena menurut Hendrie Weisinger dan Norman M Lobsenz dalam buku Nobody’s Perfect: How to Give Criticism and Get Results, kritik sangat diperlukan bagi pertumbuhan individu maupun kemajuan perusahaan.
Dalam buku itu diberi beberapa contoh, perusahaan sukses yang sejak awal menumbuhkan budaya kritik, termasuk dari bawahan kepada atasan, misalnya perusahaan besar dari Jepang, Matsushita. Pendiri dan pemilik perusahaan, Konosuke Matsushita, sejak awal menggariskan kebijakan yang menekankan pentingnya kritik sebagai suatu bentuk disiplin diri, yang diperlukan bagi pertumbuhan setiap individu maupun pertumbuhan perusahaan.
Konosuke tidak membatasi kepada siapa kritik diberikan. Bawahan pun bebas mengeluarkan kritik kepada atasannya. Hasilnya, Matsushita tumbuh menjadi perusahaan elektronik dan alat berat papan atas. Produknya tidak hanya beredar di negaranya, tetapi ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

Leave a comment